Saya sedang berada di Jakarta, menulis buku ini, ketika
telepon genggam saya berdering.
Hari itu Minggu, 30 Juli 2000, pukul 12 siang.
Salah seorang mitra usaha, seorang dokter yang juga ‘master’ di bidang asuransi
kesehatan, memberi tahu bahwa ia berada di Bali untuk meluncurkan dan
memasarkan produk asuransi kesehatan terbaru, khusus untuk turis asing yang
datang ke Bali.
Dulu, ia pernah meminta saya mencari seseorang yang memiliki
akses pemasaran luas di Bali. Saat itu saya teringat pada Hasan, yang pernah
minta dicarikan produk seperti yang ditawarkan oleh dokter itu. Selanjutnya,
saya segera menghubungi Hasan.
Ini peluang bisnis untuk dia
Saya akan mempertemukan mereka. Untuk mempermudah
perkenalan, saya ceritakan sedikit tentang mitra usaha saya itu kepada Hasan.
Saya jelaskan bahwa mitra usaha saya itu ahli asuransi kesehatan, dan merupakan
salah satu pimpinan perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia. Ia pernah
mencapai pendapatan premi terbesar di bidang asuransi kesehatan. Ia juga
seorang dokter yang sukses di Jakarta. Semua itu saya jelaskan kepada Hasan,
agar ia yakin bahwa saya akan mempertemukannya dengan orang yang
sungguh-sungguh ahli dan tepat dalam bisnis tersebut.
Akan tetapi, sesuatu terjadi di luar dugaan. Hasan merasa
dirinya tidak sejajar dengan sang dokter. Ia ungkapkan keraguannya untuk
berjumpa dengan calon mitra usahanya itu. Kemudian, saya baru menyadari,
paradigma yang terbentuk akibat kata-kata dan penjelasan saya tentang sang
mitra usaha itu membuat dirinya merasa minder
Kemudian saya yakinkan kembali kepadanya,
“Dokter itu memang
ahli di bidang asuransi kesehatan, tetapi pengetahuan tentang jaringan
pemasaran di Bali pastilah Anda yang lebih menguasai.” Lalu, saya katakan,
“Mitra usaha saya itu tinggal di Jakarta dan Anda tinggal di Bali, jadi Anda
pasti lebih mengetahui Bali. Bahkan, apabila sang dokter itu berjalan sendirian
di daerah Kuta, pastilah ia tersesat kebingungan.” Saat itu, bisa saya rasakan
senyum Hasan memancarkan kepercayaan diri. Lalu, ia berkata, “Baik, berikan
nomor teleponnya sekarang!” dengan suara penuh keyakinan. Terbayangkah, bahwa
Hasan hampir saja kehilangan peluang usaha senilai US$ 100.000? Saya yakin
produk itu akan berhasil karena Hasan memiliki akses luas di Bali. Selain itu,
produk seperti itu belum pernah ada di Bali, dan Bali membutuhkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar